Geoheritage in Jogja Biennale XI
Posted by
Zhirotheque Javanica
at
4:55 PM
Salah satu poster panduan dalam acara ‘One Day Field Trip’ Geoheritage in Jogja Biennale XI, 8 Januari 2012. Kegiatan ini dipandu oleh Dr. Ir. C. Prasetyadi, M.Sc., Pakar Geologi dari UPN Veteran Yogyakarta, dengan route dari halaman Taman Budaya Yogyakarta melintasi jalur Berbah - Prambanan - Bayat - Ngawen - Nglipar - Nglanggeran - Pathuk dan kembali ke Jogja.
Pengenalan Tsunami untuk Penanggulangan Bencana
Posted by
Zhirotheque Javanica
at
10:10 AM
Tsunami adalah sebuah kata yang diambil dari khasanah bahasa Jepang yang artinya kira-kira 'gelombang di pantai'. Banyak orang menyebutnya tsunami 'gelombang pasang', padahal sesungguhnya tsunami tidak ada hubungannya dengan pasang surut gelombang air laut. Memang di permukaan laut sewaktu terjadi tsunami akan muncul gelombang-gelombang besar yang seringkali sampai menyapu pantai-pantai yang jauh, tetapi gelombang-gelombang itu tidak sama dengan gelombang naik dan turun yang biasa datang dan pergi silih berganti. Asal gelombang-gelombang tsunami adalah dari dasar laut atau sari daerah pantai yang memiliki kegiatan-kegiatan seismik, kelongsoran tanah dan letusan gunungapi. Apa pun penyebabnya yang jelas air laut terdorong sehingga meluap, pecah menyapu dataran dengan daya rusak luar biasa. | Artikel lengkap ...
Letusan Gunung Api Purba Jawa Sebesar Toba
Posted by
Zhirotheque Javanica
at
3:04 AM
Skala letusan gunung api purba di Pulau Jawa sama besar dengan letusan Gunung Api Toba Sumatra Utara karena memiliki kemiripan material sisa letusan.
Peneliti Jurusan Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Prasetyadi di Yogyakarta, Senin, mengatakan, sisa-sisa letusan Gunung Api Purba di sepanjang Pulau Jawa yang terjadi 20 juta tahun lalu memiliki ciri yang sama dengan letusan Gunung Api Toba.
Peneliti Jurusan Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Prasetyadi di Yogyakarta, Senin, mengatakan, sisa-sisa letusan Gunung Api Purba di sepanjang Pulau Jawa yang terjadi 20 juta tahun lalu memiliki ciri yang sama dengan letusan Gunung Api Toba.
Menurut dia, sisa-sisa gunung api purba berupa bebatuan memiliki ketebalan piroklastik atau endapan hasil letusan lebih dari 300 meter dengan jangkauan letusan hingga ratusan kilometer. "Para peneliti geologi bahkan memperkirakan gunung api purba di Pulau Jawa yang biasa disebut dengan Formasi Gunung Api Semilir memiliki ketebalan piroklastik 600 meter," kata dia.
Menurutnya, bebatuan sisa erupsi Gunung Api Semilir di Pulau Jawa, yang terdiri dari lapisan batuan beku atau tuf, abu vulkanik, dan batu apung mengalami proses sedimentasi menandakan komposisi jenis bebatuan yang sama dengan sisa erupsi Gunung Api Toba.
Ia mengatakan letusan gunung api purba di Pulau Jawa juga bisa dikenali dengan fosil binatang laut. "Letusan Gunung Api Purba terjadi di laut dan belum ada tanda-tanda kehidupan manusia. Skalanya sama hebatnya dengan letusan Gunung Api Toba," katanya.
Ia mengatakan letusan gunung api purba Pulau Jawa dipastikan berhenti sejak jutaan tahun lalu dengan tanda-tanda ditemukannya batu gamping di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul," kata dia.
Dia mengatakan letusan gunung api purba menjadi tanda sejarah pembentukan Pulau Jawa dengan melihat ciri-ciri geologi. Menurutnya, mempelajari sejarah letusan gunung api purba di Pulau Jawa bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya mitigasi. "Dengan memahami sejarah gunung api purba masyarakat akan memahami Pulau Jawa penuh dengan risiko bencana alam yang terjadi sejak puluhan jutaan tahun lalu," katanya.
Ia mengatakan masyarakat akan semakin sadar dan berupaya melakukan mitigasi jika memiliki pengetahuan yang cukup tentang sejarah letusan gunung api. "Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harapannya akan semakin memahami ancaman bencana dan bisa melakukan upaya mitigasi dengan menggunakan pengetahuan itu," kata dia.
Sumber: Antaranews
Potensi Gunung Lumpur Membentang di Pulau Jawa
Posted by
Zhirotheque Javanica
at
2:54 AM
Para ahli geologi menyatakan bahwa potensi gunung lumpur (mud vulcano) membentang luas di daratan Pulau Jawa, sehingga di wilayah itu rentan terjadi semburan lumpur seperti yang terjadi di Sidoarjo, Jatim. Staf Ahli geologi BP Migas Awang Harun Satyana mengatakan, terdapat jalur rentetan gunung lumpur yang terbentang luas dari Bogor hingga Sidoarjo.
"Masyarakat mungkin tidak akan pernah lupa terhadap kejadian fenomenal semburan lumpur yang terjadi di wilayah Jawa Timur itu, bahkan setelah dua tahun, lumpur Sidoarjo terus menyembur tanpa henti," ujarnya. Bagi ahli geologi, kata dia, kejadian tersebut merupakan salah satu contoh tidak tepatnya perlakuan manusia terhadap alam karena kurangnya pengetahuan terhadap kegeologian. "Kejadian ini sebenarnya sangat alami, bahkan beberapa pakar telah memetakan Indonesia sebagai wilayah yang rentan terhadap gangguan alam seperti itu," urainya.
Awang menjelaskan, beberapa juta tahun lalu, tepatnya di wilayah Kubah Sangiran terjadi hal serupa. Berdasarkan penelitian, Sangiran merupakan tempat hidup manusia purba pertama di Pulau Jawa dua juta tahun lalu. "Kubah Sangiran kemudian tererosi pada bagian puncaknya, sehingga membentuk sebuah depresi. Pada depresi itulah, tersingkap lapisan-lapisan tanah secara alamiah," ujarnya. Bahkan, kata dia, gunung lumpur ini telah menenggelamkan sebuah kerajaan di Jawa Timur sekitar 400 tahun silam.
Sedangkan Edi Sunardi, Ketua Pengembangan Ilmu IAGI, yang juga dosen Geologi Unpad, berpendapat, secara geografis, daerah Jatim memiliki peta geologi yang spektakuler karena memiliki kandungan minyak, gas, serta gunung lumpur. Bahkan, terdapat satu jalur dari arah Barat ke Timur sampai dengan Selat Madura yang dipenuhi dengan gunung lumpur.
Hal senada dikatakan Prof Sukendar Asikin, ahli tektonik dan geologi struktur dari Institut Teknologi Bandung (ITB), bahwa tidak menutup kemungkinan fenomena Kubah Sangiran terulang kembali di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Menurut dia, erupsi Kubah Sangiran terjadi akibat beratnya beban gunung api yang menjulang di wilayah itu, yang mengakibatkan keluarnya cairan dari dalam perut bumi. "Artinya, kejadian itu bisa terulang kembali jika beban di atas permukaan tanah di beberapa wilayah di Pulau Jawa terlalu berat, misalnya oleh kepadatan kota," ujarnya.
Dia mengatakan, pesatnya pembangunan tanpa diimbagi dengan kajian geologi, berpotensi membuat kejadian seperti lumpur Sidoarjo terulang kembali. Kekhawatiran ini, lanjutnya, memang beralasan karena saat ini terlihat pesatnya pembangunan kota, dan bahkan terjadinya eksploitasi tanah secara besar-besaran untuk menghasilkan batu bara dan timah.
Di sisi lain, kata Asikin, kesadaran akan penghijauan lingkungan semakin berkurang, akibat tidak pahamnya masyarakat mengenai musibah yang mengancam. "Kurangnya pengetahuan pemerintah dan masyarakat mengenai geologi diduga sebagai penyebab awal terjadinya bencana. Pemerintah memberikan izin eksplorasi, dan masyarakat melaksanakannya tanpa berbekal pengetahunan geologi," ujarnya.
Namun, kata dia, hal itu mungkin tidak menjadi masalah jika setiap lapisan tanah yang mengandung kekayaan alam tidak berpotensi menimbulkan bencana. Pada kenyataannya, kekayaan bumi itu kerap berdampingan letaknya dengan potensi bencana, seperti kejadian lumpur Sidoarjo. "Ini memang unik, di wilayah yang termasuk jalur gunung lumpur itu ternyata terkandung minyak yang cukup besar, kondisi ini mirip dengan kejadian pengeboran minyak di wilayah Azerbaijan dan Iran," jelasnya.
Menurut dia, pengeboran minyak di wilayah itu menghasilkan sedikitnya 1,5 juta barel per hari, namun juga menyemburkan lumpur dari perut bumi mirip dengan kejadian di Sidoarjo. Pihaknya melihat, atas beberapa peristiwa alam yang terjadi, sudah selayaknya perhitungan geologi menjadi pertimbangan sebelum melakukan eksplorasi. "Pada dasarnya pengebor itu tidak salah, karena wilayah itu mengandung minyak. Permasalahan utamanya ialah, masih rendahnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan sebagai basis pembangunan," ujarnya.
Saat ini, kata dia, setelah terjadi bencana lumpur Sidoarjo, pengetahuan mengenai kegeologian menjadi penting, khususnya berkaitan dengan penemuan sedikitnya 20 cekungan baru di Indonesia.
Sumber: Antaranews
Geologi Pulau Jawa
Posted by
Zhirotheque Javanica
at
6:16 PM
Pada awal Paleogen Sumatera, Kalimantan dan Jawa masih merupakan satu daratan dengan Benua Asia yang disebut tanah Sunda. Pada Eosen pulau Jawa yang semula berupa daratan, bagian utaranya tergenang oleh air laut dan membentuk cekungan geosinklin. Sedangkan bagian selatan pulau Jawa terangkat dan membentuk geantiklin yang disebut geantiklin Jawa Tenggara.
Pada kala Oligosen hampir seluruh pulau jawa terangkat menjadi geantiklin yang disebut geantiklin Jawa. Pada saat ini muncul beberapa gunung api di bagian selatan pulau ini.
Pulau Jawa yang semula merupakan geantiklin berangsur-angsur mengalami penurunan lagi sehingga pada Miosen bawah terjadi genang laut. Gunung api yang bermunculan di bagian selatan membentuk pulau-pulau gunung api. Pada pulau-pulau tersebut terdapat endapan breksi vulkanik dan endapan-endapan laut. Semakin jauh dari pantai terbentuk endapan gamping koral dan gamping foraminifera.
Pada Miosen tengah di sepanjang selatan pulau Jawa pembentukan gamping koral terus berkembang diselingi batuan vulkanik. Kemudian pada Miosen atas terjadi pengangkatan pada seluruh lengkung Sunda-Bali dan bagian selatan Jawa. Keberadaan pegunungan selatan Jawa ini tetap bertahan sampai sekarang dengan batuan penyusun yang didominasi oleh batuan kapur yang dibeberapa tempat diselingi oleh munculnya vulcanic neck atau bentuk intrusi yang lain.
Selengkapnya di: http://waterforgeo.blogspot.com/2011/03/geologi-pulau-jawa.html
Subscribe to:
Posts (Atom)